A. PENDAHULUAN
Negeri atau Desa Allang Asaude yang berada di Pulau Seram,
Kecamatan Waesala, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, merupakan
bagian yang tak terlepas dari Negeri Allang di Pulau Ambon, Kecamatan Leihitu
Barat, Kabupaten Maluku Tengah; dan Negeri Hato Allang di bagian barat
Kecamatan Waesala. Ketiga negeri ini dulunya merupakan satu kesatuan di Negeri
Allang – Pulau Ambon yang kemudian terbagi menjadi tiga negeri setelah
dilakukannya transmigrasi lokal pertama di Maluku yaitu dari Negeri Allang ke Pulau
Seram, Maluku. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke
wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. Faktor-faktor utama
yang mengakibatkan perpindahan penduduk adalah: perekonomian, kepadatan penduduk dan lain-lain.
Faktor-faktor penyebab terjadinya perpindahan penduduk dari Negeri Allang –
Pulau Ambon ke Allang Asaude dan Hato Allang di Pulau Seram adalah masalah
kepadatan penduduk. Pada masa kini, banyak masyarakat khususnya generasi
penerus yang masih belum tahu dengan kisah sejarahnya. Untuk itulah, tulisannya
ini saya publikasikan untuk diketahui. Agar lebih jelasnya, mari kita simak yang berikut ini:
B. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1961, penduduk di Negeri Allang berjumlah 1.112
orang – Jumlah penduduk terpadat kedua di Pulau Ambon setelah Negeri Liang yang
jumlahnya 1.119 orang – pada masa kekuasaan Patty Agustinyo. Kondisi Jumlah
penduduk yang padat tersebut membuat sebagian warga harus bermigrasi ke tempat
lain guna menghidupi anak-anak mereka di masa depan. Sementara sebagian besar
warga masih menetap di Negeri Allang. Pada tahun 1935, sejumlah masyarakat
mulai mengeluh menyikapi kondisi kepadatan penduduk yang terjadi di Negeri
Allang. Hal itu lebih menjurus ke masalah kepemilikan tanah, sehingga membuat
mereka bingung mau mengadu kepada siapa selain kepada pemerintah negeri. Maka
mereka berulang kali menemui staf pemerintah negeri untuk meminta tanah bagi
pembangunan rumah mereka dan anak-anak mereka yang telah berkeluarga. Namun,
permintaan mereka tidak membuahkan hasil sehingga membangkitkan amarah dan
ancaman dari sejumlah masyarakat. Hingga akhirnya, permintaan mereka didengar
juga oleh seorang tokoh masyarakat yang bernama Bapak Esau Manuhua. Beliau
sangat prihatin dan peduli kepada masyarakat kala itu. Ia memotivasi warga
untuk tidak hanya diam berpangku tangan, melainkan segera bertindak mencari
solusi untuk masa depan anak cucu sebagai generasi penerus. Dan atas
persetujuan dari Pemerintah Negeri Allang dan Residen (Gubernur), beliau
mengusulkan agar mereka harus pindah ke tempat lain.
C. PERJALANAN
TRANSMIGRASI
1. Langkah
Awal Transmigrasi
Bapak Esau Manuhua mengusulkan kepada masyarakat untuk
bermigrasi ke Hato Allang di Pulau Seram dengan terlebih dahulu meninjau daerah
tujuan sebelum berangkat. Usul ini diterima baik oleh masyarakat dengan memberi
dukungan. Akhirnya Bapak Esau Manuhua beserta rekan-rekannya berangkat ke Hato
Allang untuk meninjau lokasi, dengan dipimpin oleh beliau sendiri. Setelah tiba
di Hato Allang, mereka memasang patok-patok sebagai batas tanah dari Ulatu
sampai di Ulaeng, yaitu di daerah
Waesala. Akan tetapi menurut hasil penelitian kesehatan, di wilayah
tersebut terdapat banyak rawa-rawa luas dan merupakan sarang nyamuk sumber
penyakit malaria. Maka Pemerintah Negeri Allang akhirnya tidak menyetujui
rencana transmigrasi tersebut. Kemudian berselanglah Perang Dunia II pada tahun
1942 – 1945, dan pada waktu itu Bpk. Esau Manuhua telah meninggal dunia.
2. Keadaan
Penduduk dan Usaha Melanjutkan Transmigrasi
Sementara itu, pada tahun 1945, jumlah penduduk di Negeri
Allang sudah lebih dari 3.500 orang. Jumlah tersebut kian meningkat setiap
tahun mengakibatkan kebutuhan tiap-tiap keluarga menjadi sulit dalam berbagai
bidang, khususnya bidang ekonomi. Sementara anak cucu mau merebut cita-cita
mereka untuk lebih cepat berhasil. Menyikapi hal itu, seorang tokoh masyarakat
yang bernama Bapak Yermias Sipahelut, dengan semangatnya yang besar bertekad
untuk kembali mengadakan transmigrasi ke Pulau Seram sebagai solusinya. Ia
kemudian mengajak Bapak Pieter Sohilait, Bapak Otis Sabandar, Bapak Lambert
Patty, Bapak Dominggus Patty (tuagama), serta Bapak Yohanis Huwae (Bapak Nani).
Mereka berjuang untuk mencapai cita-cita transmigrasi dan juga ingin menunaikan tugas Imamat Am
sesuai pesan Alkitab dalam Injil Matius 28 : 18 – 20; “Pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Allah, Bapa, Anak, dan
Roh Kudus.”
Pada tahun 1946 sesudah perang Jepang, para pelopor
transmigrasi terus bekerja dan berurusan ke instansi terkait tanpa
sepengetahuan Pemerintah Negeri Allang, serta mengadakan pertemuan dengan
masyarakat untuk mengadakan pemungutan suara terkait minat masyarakat untuk
mengikuti transmigrasi. Apabila telah mencapai 100 anggota, maka Bapak Yermias
akan melaporkan kegiatan serta keinginan mereka ke Kantor Residen (Gubernur) ,
yaitu kepada Tuan Pieter, seorang Belanda yang memerintah seluruh Maluku kala
itu.
3. Urusan
Seputar Transmigrasi dan Persiapannya
Selanjutnya, Bapak Yermias dan kawan-kawan pergi melaporkan
niat mereka kepada Tuan Pieter setelah mereka selesai mengadakan pertemuan dan
pemungutan suara. Bapak Andreas Pelasula juga ikut serta memperkenalkan diri
kepada residen sebagai wakil dari Pemerintah Negeri Allang, sebab para pelopor yang bekerja tanpa
sepengetahuan Pemerintah Negeri Allang akan dipenjarakan. Akhirnya, niat Bapak
Yermias dan kawan-kawannya disambut baik oleh Tuan Pieter. Tuan Pieter lalu
mengutus Godman (pegawai sosial) dan Deweles (pegawai pertanian) untuk ikut
serta ke sana. Bapak Yermias lalu ditunjuk oleh Tuan Pieter sebagai pelopor
atau pemimpinnya. Mereka diberi biaya 61 Golden (Rp. 61.000) untuk
keberangkatan menuju Pulau Seram. Pemerintah membeli sebidang tanah Erefak
milik perusahan asing. Sedangkan makanan sementara para pelopor transmigrasi
adalah sagu kering (sagu lempeng) dan dendeng (daging olahan). Mereka juga
diberi alat-alat pertanian dan sapi Benggala beserta kebutuhan lainnya. Setelah
semua urusan selesai di Ambon, maka para pelopor mengadakan pertemuan di Negeri
Allang untuk merencanakan peninjauan lokasi yang sesuai.
4. Peninjauan
Lokasi
Adapun lokasi yang akan dipilih untuk ditinjau adalah di
daerah Huamual Belakang di Pulau Seram. Setelah para pelopor tiba di Pulau
Seram yaitu tepanya di daerah Seram Barat (Piru), mereka langsung menuju lokasi
tinjauan di Huamual Belakang dengan berjalan kaki melalui Kotania menuju Masika
dan Asaude. Kedua daerah ini kemudian ditinjau namun daerah Masika tidak cocok
untuk dibangun negeri baru dikarenakan
lokasinya tidak luas, dan juga terdapat banyak rawa sehingga air mudah
tergenang. Kemudian mereka menuju ke daerah Asaude dan ternyata daerahnya
cocok. Menurut sejarah, tempat ini pernah didiami oleh 9 datuk atau leluhur
keluarga besar Allang dari Maluku Utara sekitar tahun 1462, yang diberi nama
‘ASSAURI’ (dalam bahasa Wemale ASSA artinya SATU; URI artinya KUMPULAN atau
KESATUAN) yang berarti SATU KESATUAN.
5. Transmigrasi
Rombongan I (Membuka Pemukiman Baru)
Setelah kembali dari Pulau Seram, selanjutnya pada hari
Selasa tanggal 11 November 1947 pukul 6 pagi WIT, sebuah kapal KM ELBULER
berlabuh di Pelabuhan Negeri Allang untuk mengangkut sekitar 23 orang anggota
transmigran laki-laki dibawah pimpinan Tuan Lilipali (pegawai pertanian) dan
seorang kadaster Saimun. Turut serta Bapak Sadrak Sasabone (petugas kesehatan),
Bapak Eliasar Sapakolly, Bapak Welhelmus Huwae, dan Bapak Yulius Sabandar untuk
berangkat ke sana. Akhirnya KM ELBULER tiba di Asaude pada hari Rabu tanggal 12
November 1947. Mereka pun secara bersama membangun sebuah befsak atau barak
yang berukuran 30x60 m sebagai tempat penampungan sementara untuk kepala-kepala
keluarga dibawah pimpinan Tuan Lilipaly. Mereka juga mengkavlingkan
(membagi-bagikan) tanah berukuran 40x60 m2 untuk setiap satu keluarga. Dari
hasil kavling tanah ini dibangunlah rumah-rumah berukuran 4x6 m secara masohi
(gotong royong) dalam tenggat waktu 3 bulan untuk ditinggali nantinya.
Kepemimpinan Tuan Lilipaly digantikan oleh Bapak Tomasoa, kemudian diganti lagi
oleh Bapak Pelapelapon sampai anggota keluarga dari Allang datang.
6. Transmigrasi
Rombongan II (Pemberian Nama Negeri)
Sementara itu, sejumlah keluarga di Negeri Allang ingin
cepat pindah dan menetap di Allang Asaude. Akhirnya, pada tanggal 1 Desember
1947, diadakan suatu pertemuan perpisahan di Baileo Negeri Allang antara yang
mau berangkat dan yang tetap tinggal. Saat itu juga ada banyak kata-kata
perpisahan dan nasehat dari petuah-petuah negeri/tua-tua adat Negeri Allang
dibarengi dengan ibadah pelepasan sekaligus ibadah pertama bagi Jemaat GPM
Allang Asaude, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Jemaat GPM
Allang Asaude. Selanjutnya sebuah kapal api KM TALIWANG yang telah tiba di Pelabuhan Negeri Allang untuk
mengangkut para transmigran rombongan kedua yang berjumlah 60 kepala keluarga
menuju Asaude. Dari 100 kepala keluarga
yang telah ada di Asaude, 40 orang diantaranya masih bujang dan urusan
komunikasi antara Asaude dengan Negeri Allang berjalan lancar. Sebelum
kedatangan anggota keluarga transmigran, Tuan Buur seorang konterleur Piru
telah membuat pertemuan dengan anggota transmigrasi untuk memberi penjelasan
tentang transmigrasi dan persyaratannya sekaligus untuk mencari nama bagi
negeri baru ini. Dan kerena lokasi yang ditempati ini bernama Asaude dan para transmigran
berasal dari Negeri Allang maka diputuskan negeri baru ini diberi nama ALLANG
ASAUDE. (Bahasa Wemale: ALLANG berasal dari kata ALLANA yang artinya Allah yang
melindugi/membungkus).
7. Transmigrasi
Rombongan Terakhir
Pada tanggal 6 Maret 1948 pukul 6 pagi WIT, KM TALIWANG
mengangkut anggota keluarga transmigran yang masih tinggal di Negeri Allang dan
barang-barang mereka menuju Allang Asaude dengan dipimpin oleh Godman Deweles.
Mereka adalah para perempuan dan laki-laki serta anak-anak dan istri-istri para
kepala keluarga yang telah ada di Negeri Allang Asaude. Keberangkatan mereka
dilakukan dengan upacara adat. Mereka baru tiba di Allang Asaude keesokan
harinya, yaitu pada tanggal 7 Maret 1948. Kedatangan mereka menjadi simbol
kesatuan dan keutuhan sebuah keluarga. Oleh karena keberangkatan mereka
dilakukan dengan upacara adat, maka tanggal 7 Maret 1948 ditetapkan sebagai
hari lahirnya desa Allang Asaude,
sedangkan tanggal 1 Desember merupakan hari pelepasan kepala-kepala keluarga
transmigran sekaligus HUT Jemaat GPM Allang Asaude.
sumber : http://allangasaude.blogspot.co.id/2016/08/perjalanan-sejarah-negeri-allang-asaude_6.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar